Laman

Minggu, 08 April 2012


Hari Nelayan dan Bahan Bakar Minyak (BBM)



Hari Nelayan 6 April di tahun 2012, memunculkan satu pertanyaan, “apakah tahun ini akan menambah pengurangan jumlah nelayan ?“. Menurut Data Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), Jumlah nelayan dalam periode tahun 2000 - 2010 mengalami penurunan rata-rata sebesar 0,92% per tahun, yaitu dari 3.104.861 orang pada tahun 2000 menjadi 2.620.277orang pada tahun 2010. Penurunan jumlah nelayan ini tentu tidak lepas dari pengaruh kebijakan perikanan dan kelautan di Indonesia. Yang kenyataannya, telah melahirkan angka penurunan jumlah nelayan dan jeratan kemiskinan yang akut dan tak redam. Lebih jauh lagi, jika harga BBM tahun ini akan dinaikkan, pastilah angka kemiskinan di kelompok nelayan akan bertambah, bahkan berpotensi mengurangi jumlah nelayan. Hari Nelayan ini, menjadi momentum transformasi seremonial menuju perbaikan kerja untuk kesejahteraan nelayan tradisional Indonesia.

Jumlah menurun
Sektor perikanan, telah menyerap tenaga kerja sebanyak  6,5 juta orang (kepala keluarga). Selain itu, kontribusi terhadap Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp 126  miliar. Jumlah yang kecil jika dibandingkan dengan kontribusi sektor transportasi , maupun pertanian. Hal ini tidak terlepas dari kinerja pendukung, termasuk nelayan.

Melaut menjadi pekerjaan utama nelayan. Menerjang ganasnya ombak dengan taruhan nyawa,  kerja keras mereka seakan tidak tertandingi. Ironinya, kondisi dan kualitas hidup mereka tak beranjak lebih baik. Belajar dari sejarah, pada dasarnya nelayan Indonesia memiliki kemampuan handal dalam menaklukkan lautan. Namun, kenyataan hari ini tak lagi mencatat kehandalan mereka. Bahkan, jumlahnya semankin mengalami penurunan.

Jumlah terendah pernah dicapai pada tahun 2005, yaitu mencapai 2.590.364 orang. Ada hal menarik dibalik penurunan jumlah nelayan di tahun 2005. Pada saat itu, Pemerintah telah dua kali menaikkan harga BBM, yaitu bulan Maret dan Oktober 2005. Bulan Maret, harga BBM naik 32 persen untuk premium, dari Rp 1.810 ke Rp 2.400 per liter. Untuk solar, harga naik sebayak 27 persen, dari Rp 1.650 ke Rp 2.100 per liter.

Sedangkan pada bulan Oktober, harga premium naik 87 persen, dari Rp 2.400 ke Rp 4.500 per liter. Sedangkan  harga solar naik 105 persen, dari Rp 2.100 ke Rp 4.300 per liter. Kenaikan yang lebih signifikan dibandingkan bulan Maret 2005.

Menjadi hal yang wajar, jika jumlah nelayan pada tahun 2005 merupakan jumlah terendah. Jika BBM dinaikkan, maka nelayan yang membutukan 50-70 persen modal untuk sekali melaut digunakan untuk BBM, akan semakin mengendus harapan untuk mendapatkan kesejahteraan. Apalagi, hingga dua kali penaikkan dalam setahun.

Bukan hanya karena ketersediaan BBM saja. Cuaca buruk yang sering berubah-ubah, membuat nelayan harus bisa bertahan dengan cara apapun. Sementara itu, ketika cuaca buruk , kapal nelayan yang di bawah 60 GT tak mampu menerjang tingginya ombak. Sehingga, banyak nelayan yang tidak melaut dan akhirnya meminjam uang kepada tengkulak untuk bertahan hidup. Jika belum ada mekanisme perlindungan kepada nelayan secara menyeluruh, maka bisa dipastikan jumlah nelayan akan semakin terkikis jumlahnya.

Strategi Perlindungan 
Melihat jumlah penurunan nelayan yang signifikan, maka tidaklah elok jika harga BBM dinaikkan. Sejumlah 2,6 juta masyarakat pesisir yang menjadi nelayan ini, perlu mendapatkan perlindungan yang nyata atas dampak dari pekerjaan yang penuh risiko, yaitu cuaca buruk dan rentan terhadap dampak perekonomian, seperti halnya kenaikan harga BBM. Oleh karena itu, terdapat strategi jangka pendek dan jangka penjang untuk memperbaiki kondisi nelayan.
 
Terdapat tiga hal untuk  mendukung strategi jangka pendek. Pertama, subsidi khusus BBM untuk nelayan. Problem yang terjadi adalah distribusi yang tidak merata. Jumlah SPDN (Solar Packed Dealer untuk Nelayan) hanya 225 unit, yang kapasitasnya 20 persen dari kebutuhan 600 unit (Satria, 2009). Selain itu,  keterbatasan modal koperasi nelayan dan lokasi yang terpencil menjadi problem lainnya. Kenaikan harga BBM, membuat nelayan tak berdaya karena harga ikan hasil tangkapannya tak mampu naik berlipat, mengimbangi kenaikan harga BBM. Yang perlu dilakukan adalah, memperketat pengawasan distribusi subsidi BBM, agar tidak salah sasaran dan rawan penyelewengan. Selain itu, harus dipastikan nelayan yang menerima subsidi BBM, diimbangi dengan jumlah tangkapan ikan yang sepadan.

Kedua, asuransi untuk nelayan. Asuransi nelayan ini, mencakup kemudahan akses modal dan perlindungan dari kecelakaan kerja. Nelayan, adalah pekerja yang mempunyai resiko kerja tinggi, namun tidak memiliki jaminan perlindungan jiwa. Di Indramayu, Jawa barat, telah diterapkan asuransi nelayan. Lebih lanjut, diimbangi dengan pembentukan lembaga keuangan yang berpihak. Artinya, lembaga keuangan ini harus fleksibel dan tidak memberatkan nelayan. Harus diakui, tengkulak masih menjadi dewa penolong bagi nelayan. Kemudahan memberikan pinjaman tanpa agunan dan kapan saja nelayan membutuhkan. Dampaknya, tengkulak menjadi penentu harga ikan tangkapan nelayan.

Jika menengok pada zaman penjajahan Belanda , melalui Komisi Mindere Welvaart Onderzoek, Belanda memberikan kebijakan khusus untuk meningkatkan usaha perikanan saat itu. Yakni, pemberian pinjaman  uang oleh pemerintah melalui bank khusus nelayan kepada nelayan pribumi tanpa beban bunga. Terobosan kebijakan ini, tentunya bisa juga dilakukan oleh Pemerintah.

Ketiga, startegi penghasilan alternatif. Kegiatan alternatif bisa berupa perikanan budidaya, pengolahan ikan, ataupun penjual ikan. Untuk budidaya, potensi keuntungannya di Indonesia diperkirakan mencapai 30 Miliar US $  per tahun (Dahuri, 2012). Sedangkan pengolahan dan penjual ikan, membutuhkan peran serta dari istri nelayan.

Penghasilan alternatif ini sebagai strategi bertahan hidup ketika cuaca buruk melanda. Gelombang tinggi, yang tak bisa diterjang kapal nelayan tradisional, membuat mereka tak bisa melaut. Untuk menghindari tumpukan hutang kepada tengkulak, maka harus ada penghasilan alternatif.

Akhirnya, semuanya harus berujung pada strategi jangka panjang yang menunjang percepatan pembanguanan perikanan kelautan di Indonesia. Kebijakan ini, harus terinternalisasi di dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Strategi jangka panjang yang perlu ditempuh adalah pembangunan  berbasis kepulauan dan kelautan, layaknya kodrat negeri ini. Sehingga, nelayan sebagai aktor pemasok protein hewani konsumsi rakyat Indonesia yang mencapai 65 persen ini, dapat keluar dari jeratan kemiskinan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar