Laman

Minggu, 18 November 2012

MAFIA PERIKAAN: Modus Operandi Praktek Illegal License


 http://www.dnaberita.com/foto_berita/72DSC00122.JPG

FORUM Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N) akhirnya menemukan modus terbaru yang digunakan oleh perusahaan perikanan yang ada dibeberapa daerah seperti Kabupaten Kepulauan Aru, Kota Tual, Kota Ambon, Kabupaten Merauke dan Kabupaten Natuna untuk menguras kekayaan laut di Indonesia. Modus yang digunakan tersebut adalah modus “illegal license”, yang mana arti dari “illegal license” adalah penyalahgunaan izin dan atau cara mendapatkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan aturan main.
Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya kepada Indonesia Maritime Magazine menjelaskan, terungkapnya modus “illegal license” ini setelah data-data yang diminta secara resmi dari beberapa instansi dan perusahaan perikanan serta hasil investigasi di lapangan yang kemudian dikaji maka ditemukanlah praktek yang sudah merugikan negara  ratusan triliun rupiah ini.

“Kalau saat ini kita mendengar berbagai mafia seperti pajak, hukum, pemilu, maka dibidang perikanan diduga ada oknum-oknum tertentu di Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai Sindikat dari Mafia Perikanan karena membekingi pelaku illegal license,” papar Ivan.
Ivan menjelaskan, yang dimaksud dengan illegal license adalah manipulasi izin atau penyalahgunaan izin. Kapal tangkap milik perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia, sebagian besar hanya mengantongi izin formal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang didapat dengan cara mudah, namun setelah melakukan impor kapal asing, mereka (perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia) tidak membangun atau mengembangkan industrinya yang mengakibatkan daerah-daerah sentra tangkapan (Laut Arafura, Laut Natuna, Laut Banda, Laut Maluku dan Laut Papua) tetap menjadi daerah miskin. Jika ada, izin tersebut didapati dengan cara-cara yang tidak sesuai mekanisme atau tidak sesuai aturan yang berlaku.

Selain itu, dengan adanya tindakan dari oknum-oknum di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang sengaja menjual belikan perizinan impor kapal asing kepada perusahaan yang tidak berbasis industri serta Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), tanpa melalui prosedur yang sebenarnya, menyebabkan industri perikanan di Indonesia akan mati dengan sendirinya.

Dari fakta dilapangan banyak terjadi penyimpangan terhadap Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2008 juncto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Didalam Permen tersebut menjelaskan bagaimana proses penerbitan baru Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP-I), Surat Izin Usaha Perikanan Penanaman Modal (SIUP-PM), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI). Namun, ada beberapa proses yang tidak sesuai realita, tetapi dengan sengaja oknum aparat di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia membiarkan hal itu terjadi.

Sebagai contoh, mekanisme untuk mendapatkan Surat Izin Usaha Perikanan  (SIUP-I dan SIUP-PM) diawali dengan Perusahaan Perikanan mengajukan surat konfirmasi alokasi ke BKPM dan diteruskan ke Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap c.q Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan yang nantinya dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk mendapatkan izin tersebut diterima oleh Subdit Verifikasi Dokumen Penangkapan Ikan yang selanjutnya diteruskan ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan untuk dikoordinasikan yang selanjutnya membentuk Tim Pemeriksaan Aset dan  Verifikasi Usaha Perikanan Tangkap Terpadu yang nantinya akan mengeluarkan rekomendasi hasil verifikasi, dan diserahkan kembali ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan yang nantinya Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan mengeluarkan rekomendasi pemeriksaan aset dan verifikasi apakah layak atau tidak untuk diberikan izin.
Jika tidak layak, maka izin tidak diberikan, namun jika layak maka prosesnya akan berlanjut ke persetujuan dirjen untuk alokasi RAPIPM dengan cara mengeluarkan atau cetak RAPIPM, kemudian diteruskan lagi ke tahap pembuatan SPPM oleh BKPM yang nantinya diserahkan ke pihak pemohon izin untuk kemudian dibuat permohonan SIUP-PM.

Setelah permohonan SIUP-PM dibuat oleh perusahaan perikanan, maka akan diserahkan ke Subdit Verifikasi Dokumen Penangkapan Ikan untuk diperiksa dokumennya. Jika tidak lengkap maka akan dikembalikan ke pihak pemohon yakni perusahaan perikanan, jika lengkap maka dilanjutkan ketahap verifikasi dokumen SIUP-PM yang nantinya jika sesuai maka akan dibuat rekomendasi hasil verifikasi yang kemudian diteruskan ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan.

Setelah rekomendasi hasil verifikasi diterima selanjutnya Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan akan menginput data dan cetak draft SIUP-PM. Setelah draft SIUP-PM dicetak, tahap selanjutnya perhitungan dan penetapan PPP, input data PPP dan cetak SPP-PPP yang kemudian diserahkan lagi ke pihak pemohon yakni perusahaan perikanan untuk melakukan pembayaran PPP di bank dengan membawa Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP). Setelah pembayaran PPP, SSBP lembar ke 5 diserahkan ke Subdit Tata Pengusahaan Dokumen Penangkapan Ikan untuk pengesahan validasi SSBP lembar ke 5 tersebut. Selanjutnya SSBP lembar ke 5 tersebut digabungkan dengan dokumen SIUP-PM dan diserahkan ke Subdit Pelayanan Dokumen Penangkapan Ikan untuk cetak copy SIUP-PM, pemeriksaan final hingga cetak SIUP-PM.

Setelah SIUP-PM dicetak, diserahkan ke Direktur Jenderal untuk ditandatangani dan setelah ditandatangani diserahkan kembali ke pihak pemohon SIUP-I dan SIUP-PM yakni perusahaan perikanan.
“SIUP-I dan SIUP-PM adalah izin yang paling utama untuk seorang pengusaha bisa menjalankan bisnisnya dibidang perikanan, sebab izin-izin lainya (SIPI dan SIKPI) bisa didapat apabila sudah mengantongi SIUP-I dan SIUP-PM,” tutur Ivan.

Namun apa boleh dikata, kongkalikong dan izin operasi kapal ikan terus mengalir tanpa mengikuti prosedur yang tertuang dalam aturan main yang berlaku, yang mana dalam proses permohonan pengajuan alokasi hingga terbitnya SIUP-I, SIUP-PM terdapat praktek manipulasi.

Bukti dari penyalahgunaan prosedur terlihat pada saat permohonan pengajuan alokasi. Perusahaan perikanan yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan SIUP-I, SIUP-PM menggunakan proposal dengan kapasitas industri yang terpasang dan rencana pembangunan industri.

“Jika berbicara tentang sebuah industri, apalagi mengenai industri perikanan, maka proposalnya akan menerangkan tentang investasi dalam bentuk sebuah industri. Dari investasi sebuah industri tersebut, akan dijelaskan tentang beberapa hal yakni jumlah investasi, kapasitas produksi dan rencana kerja industri perikanan tersebut.

Sedangkan untuk jumlah investasi, sudah tentu realisasi investasinya terlihat nyata. Namun jika berbicara tentang kapasitas produksi, maka didalam proposal tersebut akan berbicara mengenai jumlah kapal dan jenis produksi yang dibagi menjadi dua bagian yakni hasil produksi yang akan diekspor dalam bentuk untuh atau tidak diolah dan diekspor dalam bentuk produk olahan. Kalau mengenai rencana kerja, akan menjelaskan tentang Cash Flow Projection, Output Produk, Pendapatan (dari ekspor dan penjualan dalam negeri) serta tenaga kerja,” papar Ivan yang adalah pria kelahiran Kota Ambon Provinsi Maluku.

Namun yang terjadi adalah sejak izin diberikan tidak terlihat fisik dari sebuah industri tersebut dibangun, jumlah tenaga kerja lokal tidak masuk akal (sangat sedikit), kapal-kapalnya misterius dalam artian kapal berlayar tidak tahu kapan masuk dan keluarnya kapal tersebut, kapal berlayar berbulan-bulan bahkan sampai sembilan bulan namun hasil tangkapan sebanding dengan kapal yang berlayar hanya satu bulan. Selain itu terindikasi menggunakan dan atau membeli BBM illegal ditengah laut dikarenakan kapal yang berlayar berbulan-bulan mengisi BBMnya sangat sedikit, bahkan hasil tangkapan ada yang tidak didaratkan.

Bukan hanya itu, menurut Ivan, pada saat  Tim Pemeriksaan aset memverifikasi data dan aset industri yang sebenarnya adalah tidak sesuai. Bahkan pada saat evaluasi tahunan, pembangunan industri diduga sengaja dilupakan karena tidak dipertanyakan. “Hal ini harus segera kita berantas agar masyarakat kecil di Indonesia tidak lagi hidup dibawah garis kemiskinan,” ketus Ivan dengan nada geram.

Sumber: http://indomaritimeinstitute.org/?p=1395

Sabtu, 17 November 2012

Kapal Asing akan Makin Leluasa Jarah Ikan


 http://panel.mustangcorps.com/admin/fl/upload/files/Pencurian%20Ikan.gif

 JAKARTA- Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) menyatakan menolak keras rencana Menteri Kelautan dan Perikanan yang mengizinkan warga negara asing mengawaki kapal-kapal perikanan berbendera Indonesia. Kebijakan itu dinilai akan menciptakan pengangguran baru dan melecehkan sumber daya manusia perikanan Indonesia.

"Kebijakan itu juga akan membuka peluang bagi eks kapal-kapal asing yang berganti bendera Indonesia untuk menjarah ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia," kata Presiden KPI Hanafi Rustandi di Jakarta, Jumat (16/11/12).

Menurut dia, langkah Menteri Kelautan dan Perikanan itu bertentangan dengan UU No. 45/2009 tentang Perikanan. Bahkan, dia curiga ada permainan di balik rancangan revisi peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut yang diduga disponsori para mafia perikanan.

Sikap KPI itu menanggapi pernyataan Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Heryanto Marwoto bahwa pelaut asing bisa menjadi awak kapal ikan berbendera Indonesia paling lama tiga tahun.

Menurut Heryanto, ketentuan itu akan dituangkan dalam peraturan menteri (permen) sebagai revisi Permen-KP No.14/2011 dan Permen-KP No.49/2001 tentang Usaha Penangkapan Ikan. Rancangan Permen-KP itu antara lain menyebutkan bahwa penggunaan 100% nakhoda dan ABK WNI untuk kapal bendera Indonesia, serta 70 persen ABK untuk kapal ikan berbendera asing, dibolehkan paling lama tiga tahun sejak peraturan menteri diterbitkan.

Hanafi mengingatkan, pasal 35A UU Perikanan secara tegas mewajibkan kapal perikanan Indonesia harus diawaki pelaut berkewarganegaraan Indonesia. Sedang kapal asing yang beroperasi di wilayah ZEE Indonesia wajib diawaki oleh pelaut Indonesia paling sedikit 70 persen dari jumlah anak buah kapal.

"Sementara kita tahu bahwa kapal-kapal perikanan Indonesia atau asing yang beroperasi di fishing ground Indonesia berukuran tidak lebih dari 24 meter, seperti dipersyaratkan dalam Konvensi ILO 188," katanya.
Karena itu, Peraturan menteri tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. ”Jangankan tiga tahun, satu hari pun KPI keberatan,” tegasnya seraya sangat menyesalkan jika rancangan permen-KP itu diterbitkan.

Menurut Hanafi, diizinkannya pelaut asing menjadi awak kapal perikanan di Indonesia akan menutup kesempatan kerja dan melecehkan pelaut Indonesia. Ia menilai sangat tidak masuk akal jika pemberian waktu tiga tahun itu untuk menunggu kesiapan sumber daya manusia dalam negeri.

Menurut Hanafi, penggunaan pelaut asing di kapal-kapal perikanan selama ini juga sangat meresahkan, karena memunculkan berbagai dampak negatif, seperti merebaknya wabah HIV/AIDS di wilayah Indonesia timur.

Bahkan, saat ini sekitar 1.500 pelaut asing berkebangsaan Myanma, Vietnam, Kamboja dan lain-lain terdampar dan akhirnya menetap di Tual, Dobo, Merauke dan beberapa daerah lain di wilayah Indonesia timur.

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/node/211483

Jumat, 16 November 2012

Hukum Indonesia Belum Cukup Atasi Pencurian Ikan Tuna


 http://komisikepolisianindonesia.com/clients/img/pencuri_ikan_ditangkap__1_.jpg

Tribunnews.com - Rabu, 14 November 2012 14:55 WIB
TRIBUNNEWS.COM, BITUNG - Hukum laut Indonesia ternyata belum bisa mengakomodir sejumlah persoalan tindak pidana perikanan yang terjadi saat ini. Terlebih, mengenai penangkapan nelayan gelap saat mencari ikan Tuna di perairan Indonesia.

Satu di antara daerah yang sangat merugi, yakni Sulawesi. Karena banyak pencuri ikan Tuna di perairannya tidak bisa dijerat.

Demikian dikatakan, Huspani, Kasie Pengawasan dan Penanganan Pelanggaran Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Bitung, Manado saat ditemui Tribun di kantor Imigrasi Klas II Bitung, Rabu (14/11/2012).

"Hukumnya kan hanya nakhoda yang bisa diajukan ke pengadilan. ABK hanya menjadi saksi," ujarnya.

Jadi, lanjut Huspaini, jika petugas air Indonesia menangkap sekelompok kapal asing, sebagian diperintahkan membawa pulang ABK ke negara asalnya. Sisanya dibawa, masing-masing satu nakhoda dan satu ABK untuk setiap kapal tersebut.

Selain terbentur hukum, kata Huspaini, petugas juga berkendalam mengenai anggaran, jika semua ABK asing yang tertangkap harus dibawa ke darat.

"Kan, mereka harus ditanggung semua kalau dibawa ke darat. Sudah gitu kami juga tenaga kami terbatas," ujarnya.

Kamis, 15 November 2012

PERIKANAN INDONESIA: Pemerintah tak mampu kembangkan 6.640 desa pesisir


JAKARTA --Pengembangan 6.640 desa pesisir yang rawan bencana (foto) sulit tercapai, karena Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya mampu mengembangkan rerata 60 desa pesisir setiap tahun.

Program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT) dimulai sejak awal tahun ini. Pada tahun ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya membantu 48 desa pesisir, sedangkan pada tahun depan ditargetkan hanya 60 desa pesisir.

Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad mengatakan kegiatan inisiatif pembangunan desa pesisir yang rawan bencana itu oleh KKP diharapkan menjadi pendorong pemerintah daerah untuk ikut mengembangkan desa pesisir di wilayahnya.

Menurutnya, KKP dipastikan tidak akan mampu untuk mengembangkan 6.640 desa pesisir, karena keterbatasan anggaran.

"Kita tidak punya pretensi [keinginan yang tidak berdasar] untuk menyelesaikan 6.640 desa pesisir yang rawan bencana. Kami mengharapkan pemda kabupaten dan kota yang menyelesaikan itu," ujarnya seusai konferensi pers Pengembangan Desa Pesisir Tangguh, Rabu (14/11/2012).

Pada tahun ini, 48 desa pesisir yang berada di 16 kabupaten memperoleh bantuan dari KKP sebesar Rp400 juta setiap desa untuk mengembangkan desa pesisir tersebut. Anggaran pengembangan desa pesisir pada tahun ini sebesar Rp30 miliar.

Data Badan Pusat Statistik mencatat pada 2010 sebanyak 7 juta orang miskin terdapat di 10.640 desa pesisir. Sumber daya pesisir juga mengalami kerusakan, infratsruktur rendah, menjadi alasan pemerintah membuat program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh.

Sudirman menuturkan PDPT itu untuk menata dan meningkatkan kehidupan desa pesisir berbasis masyarakat, inovasi kegiatan yang menghasilkan keluaran secara fisik. Menurutnya, sampai saat ini total pelaksanaan kegiatan PDPT telah mencapai 84,26%. (msb)

sumber: http://www.bisnis.com/articles/perikanan-indonesia-pemerintah-tak-mampu-kembangkan-6-dot-640-desa-pesisir

 

Selasa, 19 Juni 2012

Tahniah


Hilya, Jadilah Perhiasan Dien…


Kebahagiaan terpancar dari mataku dan istriku. Rabu, 13 juni 2012 pukul 13.25, lahirlah  putri kami yang pertama , dengan nama Hilya Addini Amrullah, dengan berat 30 kg dan panjang 47 cm. Harapan dari kami, kepada insan yang telah berjumpa dengan kehidupan barunya di dunia. Jadilah Perhiasan Agama, yang senantiasa melaksanakan perintah Allah. Pukul 11.00, Selasa 12 juni 2012, di ruang kerja, gelisah diri ingin segera menengok istri di Magelang. Karena , prediksi kelahiran akan maju pada tanggal 15 juni, yang HPL nya, adalah tanggal 29 juni 2012.

Ikatan batin
Yang namanya pertolongan dan kuasa Allah, maka otomatis mestakumg, semesta mendukung. Saat itu, pas semua agenda kerjaan kator tidak penuh, alias kosong. Maka dengan bergegas, aku pun langsung memina izin ntuk cuti, dan menemani istri yang mau melahirkan di Magelang, Jawa Tengah. Sore hari meluncur ke Magelang menggunakan bis favorite “Po.Santosa”, karna yang nggak jauh dari rumah kontrakan.
Tepat jam 04.40 aku pun sampai di Karangmalang, Secang, Magelang. Disambut Istri yang lagi hamil 9 bulan, dengan wajah berseri penuh rindu. Tak hayal, ini awal dari ikatan batin itu. Setelah istirahat, pukul 11.45, air ketuban itu keluar. Sontak heran, ditambah rasa khawatir bagaimana antisipasinya. “sudahkah ini waktu lahir? Bagamana aku kudu bertindak?” Padahal, perkiraan lahir, kisaran tanggal 15 juni 2012, sekarang baru tanggal 13 juni 2012. Untunglah aku sudah sampai di rumah.
Lek Siti, begitu sapaan akrab pembantu di rumah mertua. Dia langsung memeriksa istriku, dan ternyata memang sudah waktunya untuk melahirkan. Langsung kubawa istri ke bidan terdekat. Tepat jam 12.00 proses penanganan bidan dilakukan.

Kekuatan Doa
Kemudahan demi kemudahan, kami alami. Harapanku untuk bisa menemani istri saat melahirkan, sebelum aku berangkat umroh  tanggal 26 juni 2012. Di dalam doa, sebenarnya aku pun tak menyampaikan untuk bisa menemaninya saat melahirkan. Namun, dalam hati sebenarnya ingin menemaninya. Maha mengetahui Allah terhadap hambaNya. AKhirmya pun aku disampaikan Allah di agelang, lewat firasat ini.
Proses dari awal hingga akhir, aku menemani istri. memberikan dukungan batin, agar ia pun bisa semangat di tegah-tengah usaha antara hidup dan mati. Begitu dahsyat perjuangan wanita untuk melahirkan seorang anak. Kasihan, namun ku tetap berusaha diam, karna bisa jadi perkataannku salah dan membuat ia makin sakit.  
Tenang, berusaha kujaga ketenangan ini, walau sebenarnya cemas bercampur aduk perasaan kusut menjadi satu. Memang kudu terlihat tenang, dan optimis. Agar istri tetap merasayaman dan ikut tenang juga.
Tak lama, selama 1,5 jam proses berlangsung. Kemudahan demi kemudahan kami lalui. Maka Nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?”, demikian Allah berfirman.  Tepat pukul 13.25, kepala si bayi keluar, dan diikuti oleh badan dan kakinya. Seentara si Ibu pun menghembuskan napas berulang-ulag sebagai bentuk cara mengeluarkan si bayi. Alhamdulillah….Plong, rasanya. Terpancar senyum bahagia dari istri setelah melewati masa antar hidup dan mati.

Magelang, 13 Juni 2012/ Rajab 1433 H

Rabu, 18 April 2012

#Kataku

Untukmu Anakku



Telah usang jiwa sederhana para wakilku
Kutitipkan asa dan perubahan padamu
Tak kusangka betapa kau begitu menikmati tanpa berbagi
Negeri ini tak lagi bisa bicara arti berbagi

Mengikis dan semakin menghabis negarawan yang bisa kutitipi
Titipkan beratnya beban hidup yang tak kunjung meringan
Namun semakin ringan bagi engkau wahai wakilku
Sesak terisi negarawan berbaju tanpa hati
rakus memakan alam, tanpa sepeser pun tersisa 

Wahai anakku...
Bersiaplah engkau lahir ke dunia ini
melihat kenyataan negerimu yang semakin tertatih
Berdiri dengan diamnya kaki dan matinya hati
Rakusnya tangan dan nyaringnya bunyi
Telinga yang tak berlubang memenuhi jagat negri ini

Namun...
Ayah kan optimis melihatmu bisa tersenyum dengan negri ini
Tertawa riang menikmati indahnya Indonesia 
Riang canda bersama kawan dan saling berbagi
tanpa rasa iri dan saling menggulingkan

Wahai mutiara hati...
Sajak ini kutulis untuk menyambutmu
Baik-baiklah di alammu ini
Kumpulkan energi "Illahiah",
suci memberi dan membangun





Jakarta, 18 April 2012
"Paska tertundanya kenaikan BBM 
namun harga telah melonjak tak mau turun"

Minggu, 08 April 2012


Hari Nelayan dan Bahan Bakar Minyak (BBM)



Hari Nelayan 6 April di tahun 2012, memunculkan satu pertanyaan, “apakah tahun ini akan menambah pengurangan jumlah nelayan ?“. Menurut Data Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), Jumlah nelayan dalam periode tahun 2000 - 2010 mengalami penurunan rata-rata sebesar 0,92% per tahun, yaitu dari 3.104.861 orang pada tahun 2000 menjadi 2.620.277orang pada tahun 2010. Penurunan jumlah nelayan ini tentu tidak lepas dari pengaruh kebijakan perikanan dan kelautan di Indonesia. Yang kenyataannya, telah melahirkan angka penurunan jumlah nelayan dan jeratan kemiskinan yang akut dan tak redam. Lebih jauh lagi, jika harga BBM tahun ini akan dinaikkan, pastilah angka kemiskinan di kelompok nelayan akan bertambah, bahkan berpotensi mengurangi jumlah nelayan. Hari Nelayan ini, menjadi momentum transformasi seremonial menuju perbaikan kerja untuk kesejahteraan nelayan tradisional Indonesia.

Jumlah menurun
Sektor perikanan, telah menyerap tenaga kerja sebanyak  6,5 juta orang (kepala keluarga). Selain itu, kontribusi terhadap Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp 126  miliar. Jumlah yang kecil jika dibandingkan dengan kontribusi sektor transportasi , maupun pertanian. Hal ini tidak terlepas dari kinerja pendukung, termasuk nelayan.

Melaut menjadi pekerjaan utama nelayan. Menerjang ganasnya ombak dengan taruhan nyawa,  kerja keras mereka seakan tidak tertandingi. Ironinya, kondisi dan kualitas hidup mereka tak beranjak lebih baik. Belajar dari sejarah, pada dasarnya nelayan Indonesia memiliki kemampuan handal dalam menaklukkan lautan. Namun, kenyataan hari ini tak lagi mencatat kehandalan mereka. Bahkan, jumlahnya semankin mengalami penurunan.

Jumlah terendah pernah dicapai pada tahun 2005, yaitu mencapai 2.590.364 orang. Ada hal menarik dibalik penurunan jumlah nelayan di tahun 2005. Pada saat itu, Pemerintah telah dua kali menaikkan harga BBM, yaitu bulan Maret dan Oktober 2005. Bulan Maret, harga BBM naik 32 persen untuk premium, dari Rp 1.810 ke Rp 2.400 per liter. Untuk solar, harga naik sebayak 27 persen, dari Rp 1.650 ke Rp 2.100 per liter.

Sedangkan pada bulan Oktober, harga premium naik 87 persen, dari Rp 2.400 ke Rp 4.500 per liter. Sedangkan  harga solar naik 105 persen, dari Rp 2.100 ke Rp 4.300 per liter. Kenaikan yang lebih signifikan dibandingkan bulan Maret 2005.

Menjadi hal yang wajar, jika jumlah nelayan pada tahun 2005 merupakan jumlah terendah. Jika BBM dinaikkan, maka nelayan yang membutukan 50-70 persen modal untuk sekali melaut digunakan untuk BBM, akan semakin mengendus harapan untuk mendapatkan kesejahteraan. Apalagi, hingga dua kali penaikkan dalam setahun.

Bukan hanya karena ketersediaan BBM saja. Cuaca buruk yang sering berubah-ubah, membuat nelayan harus bisa bertahan dengan cara apapun. Sementara itu, ketika cuaca buruk , kapal nelayan yang di bawah 60 GT tak mampu menerjang tingginya ombak. Sehingga, banyak nelayan yang tidak melaut dan akhirnya meminjam uang kepada tengkulak untuk bertahan hidup. Jika belum ada mekanisme perlindungan kepada nelayan secara menyeluruh, maka bisa dipastikan jumlah nelayan akan semakin terkikis jumlahnya.

Strategi Perlindungan 
Melihat jumlah penurunan nelayan yang signifikan, maka tidaklah elok jika harga BBM dinaikkan. Sejumlah 2,6 juta masyarakat pesisir yang menjadi nelayan ini, perlu mendapatkan perlindungan yang nyata atas dampak dari pekerjaan yang penuh risiko, yaitu cuaca buruk dan rentan terhadap dampak perekonomian, seperti halnya kenaikan harga BBM. Oleh karena itu, terdapat strategi jangka pendek dan jangka penjang untuk memperbaiki kondisi nelayan.
 
Terdapat tiga hal untuk  mendukung strategi jangka pendek. Pertama, subsidi khusus BBM untuk nelayan. Problem yang terjadi adalah distribusi yang tidak merata. Jumlah SPDN (Solar Packed Dealer untuk Nelayan) hanya 225 unit, yang kapasitasnya 20 persen dari kebutuhan 600 unit (Satria, 2009). Selain itu,  keterbatasan modal koperasi nelayan dan lokasi yang terpencil menjadi problem lainnya. Kenaikan harga BBM, membuat nelayan tak berdaya karena harga ikan hasil tangkapannya tak mampu naik berlipat, mengimbangi kenaikan harga BBM. Yang perlu dilakukan adalah, memperketat pengawasan distribusi subsidi BBM, agar tidak salah sasaran dan rawan penyelewengan. Selain itu, harus dipastikan nelayan yang menerima subsidi BBM, diimbangi dengan jumlah tangkapan ikan yang sepadan.

Kedua, asuransi untuk nelayan. Asuransi nelayan ini, mencakup kemudahan akses modal dan perlindungan dari kecelakaan kerja. Nelayan, adalah pekerja yang mempunyai resiko kerja tinggi, namun tidak memiliki jaminan perlindungan jiwa. Di Indramayu, Jawa barat, telah diterapkan asuransi nelayan. Lebih lanjut, diimbangi dengan pembentukan lembaga keuangan yang berpihak. Artinya, lembaga keuangan ini harus fleksibel dan tidak memberatkan nelayan. Harus diakui, tengkulak masih menjadi dewa penolong bagi nelayan. Kemudahan memberikan pinjaman tanpa agunan dan kapan saja nelayan membutuhkan. Dampaknya, tengkulak menjadi penentu harga ikan tangkapan nelayan.

Jika menengok pada zaman penjajahan Belanda , melalui Komisi Mindere Welvaart Onderzoek, Belanda memberikan kebijakan khusus untuk meningkatkan usaha perikanan saat itu. Yakni, pemberian pinjaman  uang oleh pemerintah melalui bank khusus nelayan kepada nelayan pribumi tanpa beban bunga. Terobosan kebijakan ini, tentunya bisa juga dilakukan oleh Pemerintah.

Ketiga, startegi penghasilan alternatif. Kegiatan alternatif bisa berupa perikanan budidaya, pengolahan ikan, ataupun penjual ikan. Untuk budidaya, potensi keuntungannya di Indonesia diperkirakan mencapai 30 Miliar US $  per tahun (Dahuri, 2012). Sedangkan pengolahan dan penjual ikan, membutuhkan peran serta dari istri nelayan.

Penghasilan alternatif ini sebagai strategi bertahan hidup ketika cuaca buruk melanda. Gelombang tinggi, yang tak bisa diterjang kapal nelayan tradisional, membuat mereka tak bisa melaut. Untuk menghindari tumpukan hutang kepada tengkulak, maka harus ada penghasilan alternatif.

Akhirnya, semuanya harus berujung pada strategi jangka panjang yang menunjang percepatan pembanguanan perikanan kelautan di Indonesia. Kebijakan ini, harus terinternalisasi di dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Strategi jangka panjang yang perlu ditempuh adalah pembangunan  berbasis kepulauan dan kelautan, layaknya kodrat negeri ini. Sehingga, nelayan sebagai aktor pemasok protein hewani konsumsi rakyat Indonesia yang mencapai 65 persen ini, dapat keluar dari jeratan kemiskinan.