Impor menjadi senjata pamungkas, demikian dikatakan Menteri
Kelautan dan Perikanan, sebagai antisipasi kekurangan bahan baku industri
pengolahan.Sungguh Ironi, bagaimana ucapan itu diungkapkan ke publik melalui
oleh seorang Menteri, yang seharusnya bisa mengayomi rakyatnya.
Bagaimana tidak, nelayan
yang hingga kini terkatung-katung nasibnya, belum memiliki titik
terang untuk semakin meningkat kesejahteraannya. Alih alih meningkat,
pergantian menteri malah membuat semakin panik dan bahkan memasung
produktifitas ekonomi mereka.
Sejatinya, impor ikan
memberikan dua catatan penting. Pertama, mengapa Impor yang menjadi
senjata pamungkasnya, padahal Indonesia adalah negeri bahari yang
kaya akan sumber daya laut, khususnya ikan. Kedua, nelayan adalah
kaum rentan, jika keran impor ikan dibuka, dapat menimbulkan dampak
yang signifikan.
Potensi Terlupakan
Berdasarkan visi Kementerian Kelautan dan
Perikanan, Indonesia menjadi negara penghasil ikan terbesar di dunia
pada tahun 2015. Hal ini memberi semangat perekonomian bagi kita, namun ketika
keran impor dibuka dengan dalih untuk mencukupi kekurangan industri olahan
domestik, maka hal ini patut dipertanyakan.
Menurut
Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan (2010), total potensi produksi
lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) sumberdaya ikan laut
Indonesia mencapai 6,5 juta ton/tahun atau sekitar 7,2% dari
MSY laut dunia (90 juta ton/tahun). Sedangkan tingkat
pemanfaatan pada tahun 2010 mencapai 5,06 juta ton atau sekitar
77,8% dari MSY. Artinya, masih bisa menambah armada kapal ikan untuk
menangkap ikan sebanyak 22,2% dari MSY. Masih ada potensi yang belum teroptimalkan. Sehingga, perlu
diperhatikan pemerataan daerah penangkapan, agar stok ikan untuk industri
olahan tidak kurang.
Tapi, nelayan masih
identik dengan kemiskinan. Mereka adalah kaum yang rentan terhadap dampak
kebijakan pemerintah, yang “belum” berpihak kepada mereka.
Secara siklus
perdagangan, posisi nelayan berada didalam lingkaran sistem yang
menjerat. Jika tak ada perlindungan ataupun campur tangan pemerintah, maka
kondisinya akan stagnan. Pasalnya, dari melaut hingga membeli alat produksi pun
mereka berada dalam kondisi jeratan sistem yang merugikan. Sebagai contoh,
dalam membeli alat produksi, jaring. Nelayan membelinya tidak di
pabrik penghasil, namun kepada para penjual yang harganya sudah jauh diatas
harga dasar.
Selain itu, pembelian bahan
bakar pun tidak semua lokasi tersedia SPBU nelayan. Terpaksa mereka membeli
eceran dengan harga yang jauh lebih mahal. Lebih jauh lagi, ketika menjual
ikan, mereka tak bisa menentukan harga jual. karena yang berkuasa adalah para
tengkulak.
Berbenah
Kebijakan impor ikan bukanlah senjata pamungkas. Berdasarkan pasal
33 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 33 ayat
(3), telah jelas mengamanatkan pemerintah untuk mengelola kekayaan alam
termasuk didalamnya sumber daya perikanan, adalah untuk kemakmuran rakyat.
Impor Ikan, telah jelas mencederai konstitusi, karena impor ikan akan mematikan
produksi nelayan tradisional. Dampaknya, bukan memberikan kemakmuran, justru
malah menyengsarakan.
Minimal dilakukan dua
hal untuk mengganti opsi impor ikan ini. Pertama, mengendalikan
praktik penangkapan liar (illegal fishing) di Laut Natuna dan Laut
Arafura. Penangkapan liar yang diperkirakan mencapai 1,6 juta ton per
tahun, setara dengan potensi ikan pelagis di tiga wilayah
pengelolaan perikanan, yaitu Natuna, Arafura, dan Selat Makassar, yang mencapai
1,695 juta ton. Kedua, pemerintah harus melindungi nelayan
teradisonal melalui regulasi yang berpihak. Hingga saat ini, baru petani yang
mendapatkan perhatian melalui RUU pangan dan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani. Padahal, nelayan jauh lebih rentan, karena adanya perubahan iklim
berdampak pada cuaca ekstrem, yang membahayakan mereka.
Akhirnya, kebijakan
impor sebagai senjata pamungkas ini tidaklah patut untuk diterapkan. Nelayan
tradisional harus mendapat perlindungan dari pemerintah, untuk meningkatkan
produktivitas perikanan domestik menuju ketahanan pangan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar