Laman

Jumat, 09 Desember 2011

Impor Ikan Bukan Senjata Pamungkas



Impor menjadi senjata pamungkas, demikian dikatakan Menteri Kelautan dan Perikanan, sebagai antisipasi kekurangan bahan baku industri pengolahan.Sungguh Ironi, bagaimana ucapan itu diungkapkan ke publik melalui oleh seorang Menteri, yang seharusnya bisa mengayomi  rakyatnya.
Bagaimana tidak, nelayan yang hingga kini terkatung-katung nasibnya,  belum memiliki titik terang untuk semakin meningkat kesejahteraannya. Alih alih meningkat, pergantian menteri malah membuat semakin panik dan bahkan memasung produktifitas ekonomi mereka.
Sejatinya, impor ikan memberikan dua catatan penting. Pertama, mengapa Impor yang menjadi senjata pamungkasnya, padahal  Indonesia adalah negeri bahari yang kaya akan sumber daya laut, khususnya ikan. Kedua, nelayan adalah kaum rentan, jika keran  impor ikan dibuka, dapat menimbulkan dampak yang signifikan.  

Potensi Terlupakan
Berdasarkan visi Kementerian Kelautan dan Perikanan,  Indonesia menjadi negara penghasil ikan terbesar di dunia pada tahun 2015. Hal ini memberi semangat perekonomian bagi kita, namun ketika keran impor dibuka dengan dalih untuk mencukupi kekurangan industri olahan domestik, maka hal ini patut dipertanyakan.
Menurut Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan (2010), total potensi produksi lestari (Maximum Sustainable Yield, MSY) sumberdaya ikan laut Indonesia mencapai  6,5 juta ton/tahun atau sekitar 7,2% dari MSY laut dunia (90 juta ton/tahun).  Sedangkan tingkat pemanfaatan pada tahun 2010 mencapai 5,06 juta ton atau sekitar 77,8% dari MSY. Artinya, masih bisa menambah armada kapal ikan untuk menangkap ikan sebanyak 22,2% dari MSY. Masih ada potensi yang belum teroptimalkan. Sehingga, perlu diperhatikan pemerataan daerah penangkapan, agar stok ikan untuk industri olahan tidak kurang.
Tapi, nelayan masih identik dengan kemiskinan. Mereka adalah kaum yang rentan terhadap dampak kebijakan pemerintah, yang “belum” berpihak kepada mereka.
Secara siklus perdagangan, posisi nelayan berada didalam lingkaran sistem  yang menjerat. Jika tak ada perlindungan ataupun campur tangan pemerintah, maka kondisinya akan stagnan. Pasalnya, dari melaut hingga membeli alat produksi pun mereka berada dalam kondisi jeratan sistem yang merugikan. Sebagai contoh, dalam membeli alat produksi, jaring.  Nelayan membelinya tidak di pabrik penghasil, namun kepada para penjual yang harganya sudah jauh diatas harga dasar.
Selain itu, pembelian  bahan bakar pun tidak semua lokasi tersedia SPBU nelayan. Terpaksa mereka membeli eceran dengan harga yang jauh lebih mahal. Lebih jauh lagi, ketika menjual ikan, mereka tak bisa menentukan harga jual. karena yang berkuasa adalah para tengkulak.

Berbenah
Kebijakan impor ikan bukanlah senjata pamungkas. Berdasarkan pasal 33 Undang Undang Dasar  Negara Republik Indonesia 1945 pasal 33 ayat (3), telah jelas mengamanatkan pemerintah untuk mengelola kekayaan alam termasuk didalamnya sumber daya perikanan, adalah untuk kemakmuran rakyat. Impor Ikan, telah jelas mencederai konstitusi, karena impor ikan akan mematikan produksi nelayan tradisional. Dampaknya, bukan memberikan kemakmuran, justru malah menyengsarakan.
Minimal dilakukan dua hal untuk mengganti opsi impor ikan ini. Pertama, mengendalikan praktik penangkapan liar (illegal fishing) di Laut Natuna dan Laut Arafura. Penangkapan liar yang diperkirakan mencapai 1,6 juta ton per tahun,  setara dengan potensi ikan pelagis di tiga wilayah pengelolaan perikanan, yaitu Natuna, Arafura, dan Selat Makassar, yang mencapai 1,695 juta ton. Kedua, pemerintah harus melindungi nelayan teradisonal melalui regulasi yang berpihak. Hingga saat ini, baru petani yang mendapatkan perhatian melalui RUU pangan dan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Padahal, nelayan jauh lebih rentan, karena adanya perubahan iklim berdampak pada cuaca ekstrem, yang membahayakan mereka.  
Akhirnya, kebijakan impor sebagai senjata pamungkas ini tidaklah patut untuk diterapkan. Nelayan tradisional harus mendapat perlindungan dari pemerintah, untuk meningkatkan produktivitas perikanan domestik menuju ketahanan pangan Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar