Hari
Guru Nasional, masihkah menggemakan semangat sejarahnya? Dari 2.791.204 orang,
terdapat 806.313 guru atau sekitar 29 persen dengan gelar Guru Tidak Tetap (GTT). Bukan jumlah
yang sedikit, sebagai aktor dalam pendidikan nasional.
Sudah lama honor minimum GTT diusulkan. Namun, mentok dengan
berbagai alasan. Keberadaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) belum banyak
membantu. Batasan maksimum 20 persen dari BOS untuk honor tidak banyak
mendongkrak penghasilan GTT. Karena jatah tersebut juga diperuntukkan bagi
kegiatan PNS, baik untuk lembur maupun kinerja tambahan yang sah sesuai
peraturan. Jika PNS menikmati kenaikan gaji beserta rapel, maka GTT tak
sepeserpun bisa menikmatinya.
Kilas Balik
Berawal
dari Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912 yang berubah nama menjadi
Persatuan Guru Indonesia (PGI) pada tahun 1932. Perubahan nama ini mencerminkan
semangat kebangsaan Indonesia. Tampaknya, Belanda pun semakin gusar melihatnya.
Kata “Indonesia” ini, tidak mereka senangi, tapi sangat didambakan oleh
guru-guru dan bangsa Indonesia.
Berbeda di zaman penjajahan Jepang, semua organisasi dilarang, sekolah
ditutup dan PGI pun tidak dapat melakukan aktivitasnya kembali. Hal ini tidak
membuat mereka jera, Kongres Guru Indonesia pun digelar pada tanggal 24-25
November di Surakarta. Segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas
perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan
suku dihapuskan. Akhirnya tanggal 25 November 1945, tetap 100 hari setelah
proklamasi kemerdekaan, terbentuklah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Dengan Keputusan Presiden Nomor 78 tahun 1994, ditetapkanlah hari lahir PGRI
sebagai Hari Guru Nasional.
Sejarah pendirian PGRI ini penuh dengan semangat perjuangan dan
pengabdian kepada Negara Repubik Indonesia. Dari generasi ke generasi semangat
itu masih terus menyala untuk memberikan pendidikan dan pengajaran bagi anak
negeri. Guru merupakan aktor dalam pelaksana konstitusi. Jika dulu semangat
persatuan sangat kental, kini mulai muncul permasalahan baru yang cenderung
pada krisis motivasi. Dampaknya, kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan
juga masih kurang.
Krisis Motivasi
Harus
diakui, bahwa kemajuan dibidang pendidikan sebagian besar tergantung kemampuan guru. Namun, realitas di
sekolah-sekolah, terutama didaerah-daerah, pihak pimpinan sekolah
justru direpotkan oleh masalah guru, ketimbang persoalan peningkatan mutu dan pengembangan
sekolahnya.
Kualitas pendidikan Indonesia, sebagian besar tergantung pada sejumlah
2.791.204 orang. Jumlah ini adalah jumlah guru dari jenjang TK hingga SMK di
Indonesia. Guru mempunyai peran ganda, yaitu pendidik dan pengajar. Dalam
melaksanakan perannya, mereka harus punya motivasi yang kuat untuk mencetak
generasi gemilang.
Penurunan gairah dan kemauan guru mengajar akan berdampak terhadap hasil
pendidikan, hal ini akibat dari dampak krisis ekonomi, krisis politik, krisis
kepercayaan yang melanda sejak 1997 lalu, yang hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda pulih.
kepercayaan yang melanda sejak 1997 lalu, yang hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda pulih.
Reformasi juga telah menggeliatkan guru melalui demonstrasi besar-besaran
menuntut pemerintah agar memperbaiki nasib dan kesejahteraan guru, namun pemerintah lebih banyak diam
ketimbang memperhatikan aspirasi guru. Sikap kurang tanggapnya pihak-pihak terkait terhadap nasib tentu akan
mendorong timbulnya krisis motivasi guru mengajar.
Penghargaan yang layak
Berdasarkan
data dari Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, guru di Indonesia dari TK sampai SMA,
baik yang negeri maupun swasta berjumlah 2.791.204 orang. Dengan status PNS berjumlah
1.498.356 (54 persen), status GTT berjumlah 806.313 (29 persen), status GTY
berjumlah 258.262 (9 persen), status PNS DPK berjumlah 134.220 (5 persen),
status Guru Honda berjumlah 65.096 (2 persen), status PNS Depag berjumlah
11.585 (0,4 persen), dan status Guru Bantu berjumlah 17.372 (0,6 persen).
Keberadaan GTT ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Peran mereka
sangat besar dalam mencerdaskan bangsa. Alih alih mendapatkan gaji yang
sepadan, dari tahun ke tahun gaji mereka malah kian menurun. Bahkan, mereka
terancam digeser dengan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai kontrak. Dari
segi kesejahteraan, kondisi mereka memang memprihatinkan.
Lebih jauh lagi, keberadaan mereka tidak memiliki payung hukum
yang jelas. Kepala Sekolah lah yang menjadi ‘bos’ dengan sistem kontrak yang dibuatnya.
Keberadaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pun, belum banyak membantu.
Batasan maksimum 20 persen dari BOS untuk honor tidak banyak mendongkrak
penghasilan GTT. Karena jatah tersebut juga diperuntukkan bagi kegiatan PNS,
baik untuk lembur maupun kinerja tambahan yang sah sesuai peraturan.
Sebagai
contoh, berdasarkan data Dewan Koordinator Honorer Se Indonesia (DKHI) Kota
Surabaya, gaji GTT dan PTT di Surabaya hanya mengalami kenaikan pada tahun
2005-2006. Kemudian tahun 2007 sampai sekarang. Rata-rata gaji GTT dan PTT di
Surabaya sekarang ini antara Rp 300 ribu sampai Rp 650 ribu setiap bulannya.
Pertanyaannya adalah, bagaimana bisa optimal dalam memberikan
pengajaran, jika kesejahteraan yang merupakan kebutuhan dasar mereka pun masih
sukar untuk dicukupi. Tidak mengherankan jika Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melorot.
Dalam laporan United Nation
Development Program (UNDP), pada tahun 2010 IPM Indonesia berada di
peringkat 108, dan pada tahun ini melorot ke peringkat 124. Salah satu potret buram bagi pendidikan
Indonesia.
Penghargaan yang layak bagi keberadaan GTT ini adalah hal yang
mendesak. Mereka adalah bagian dari aktor pelaksana amanat konstitusi, yaitu
mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, mereka juga mempunyai kesempatan
yang sama dalam berkompetisi serta penghargaan yang sama pula terhadap
kontribusi dan karyanya.
Dalam pasal 28D ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 disebutkan, “setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dalam
hubungan kerja”. Sudah saatnya, pemerintah harus memberikan penghargaan
yang adil bagi guru, khususnya Guru Tanpa Status (GTT). Momentum Hari Guru
Nasional, bukan lagi sebagai rutinitas tahunan tanpa perubahan konkret. Harus
ada peningkatan kesejahteraan, demi
kemajuan pendidikan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar