Laman

Kamis, 24 November 2011

Krisis Motivasinya “Sang Guru”



Hari Guru Nasional, masihkah menggemakan semangat sejarahnya? Dari 2.791.204 orang, terdapat 806.313 guru atau sekitar 29 persen dengan  gelar Guru Tidak Tetap (GTT). Bukan jumlah yang sedikit, sebagai aktor dalam pendidikan nasional.
Sudah lama honor minimum GTT diusulkan. Namun, mentok dengan berbagai alasan. Keberadaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) belum banyak membantu. Batasan maksimum 20 persen dari BOS untuk honor tidak banyak mendongkrak penghasilan GTT. Karena jatah tersebut juga diperuntukkan bagi kegiatan PNS, baik untuk lembur maupun kinerja tambahan yang sah sesuai peraturan. Jika PNS menikmati kenaikan gaji beserta rapel, maka GTT tak sepeserpun bisa menikmatinya.

Kilas Balik
Berawal dari Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912 yang berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) pada tahun 1932. Perubahan nama ini mencerminkan semangat kebangsaan Indonesia. Tampaknya, Belanda pun semakin gusar melihatnya. Kata “Indonesia” ini, tidak mereka senangi, tapi sangat didambakan oleh guru-guru dan bangsa Indonesia.
Berbeda di zaman penjajahan Jepang, semua organisasi dilarang, sekolah ditutup dan PGI pun tidak dapat melakukan aktivitasnya kembali. Hal ini tidak membuat mereka jera, Kongres Guru Indonesia pun digelar pada tanggal 24-25 November di Surakarta. Segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku dihapuskan. Akhirnya tanggal 25 November 1945, tetap 100 hari setelah proklamasi kemerdekaan, terbentuklah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Dengan Keputusan Presiden Nomor 78 tahun 1994, ditetapkanlah hari lahir PGRI sebagai Hari Guru Nasional.
Sejarah pendirian PGRI ini penuh dengan semangat perjuangan dan pengabdian kepada Negara Repubik Indonesia. Dari generasi ke generasi semangat itu masih terus menyala untuk memberikan pendidikan dan pengajaran bagi anak negeri. Guru merupakan aktor dalam pelaksana konstitusi. Jika dulu semangat persatuan sangat kental, kini mulai muncul permasalahan baru yang cenderung pada krisis motivasi. Dampaknya, kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan juga masih kurang.
Krisis Motivasi
Harus diakui, bahwa kemajuan dibidang pendidikan sebagian besar tergantung  kemampuan guru. Namun, realitas di sekolah-sekolah, terutama didaerah-daerah, pihak pimpinan sekolah justru direpotkan oleh masalah guru, ketimbang persoalan peningkatan mutu dan pengembangan sekolahnya.
Kualitas pendidikan Indonesia, sebagian besar tergantung pada sejumlah 2.791.204 orang. Jumlah ini adalah jumlah guru dari jenjang TK hingga SMK di Indonesia. Guru mempunyai peran ganda, yaitu pendidik dan pengajar. Dalam melaksanakan perannya, mereka harus punya motivasi yang kuat untuk mencetak generasi gemilang.
Penurunan gairah dan kemauan guru mengajar akan berdampak terhadap hasil pendidikan, hal ini akibat dari dampak krisis ekonomi, krisis politik, krisis 
kepercayaan yang melanda sejak 1997 lalu, yang hingga saat ini belum menunjukkan tanda-tanda pulih.
Reformasi juga telah menggeliatkan guru melalui demonstrasi besar-besaran menuntut pemerintah agar memperbaiki nasib dan kesejahteraan  guru, namun pemerintah lebih banyak diam ketimbang memperhatikan aspirasi guru. Sikap kurang tanggapnya pihak-pihak  terkait terhadap nasib tentu akan mendorong timbulnya krisis motivasi guru mengajar.

Penghargaan yang layak
Berdasarkan data dari Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, guru di Indonesia dari TK sampai SMA, baik yang negeri maupun swasta berjumlah 2.791.204 orang. Dengan status PNS berjumlah 1.498.356 (54 persen), status GTT berjumlah 806.313 (29 persen), status GTY berjumlah 258.262 (9 persen), status PNS DPK berjumlah 134.220 (5 persen), status Guru Honda berjumlah 65.096 (2 persen), status PNS Depag berjumlah 11.585 (0,4 persen), dan status Guru Bantu berjumlah 17.372 (0,6 persen).
Keberadaan GTT ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Peran mereka sangat besar dalam mencerdaskan bangsa. Alih alih mendapatkan gaji yang sepadan,  dari tahun ke tahun gaji mereka malah kian menurun. Bahkan, mereka terancam digeser dengan guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai kontrak. Dari segi kesejahteraan, kondisi mereka memang memprihatinkan.
Lebih jauh lagi, keberadaan mereka tidak memiliki payung hukum yang jelas. Kepala Sekolah lah yang menjadi ‘bos’ dengan sistem kontrak yang dibuatnya. Keberadaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) pun, belum banyak membantu. Batasan maksimum 20 persen dari BOS untuk honor tidak banyak mendongkrak penghasilan GTT. Karena jatah tersebut juga diperuntukkan bagi kegiatan PNS, baik untuk lembur maupun kinerja tambahan yang sah sesuai peraturan.
Sebagai contoh, berdasarkan data Dewan Koordinator Honorer Se Indonesia (DKHI) Kota Surabaya, gaji GTT dan PTT di Surabaya hanya mengalami kenaikan pada tahun 2005-2006. Kemudian tahun 2007 sampai sekarang. Rata-rata gaji GTT dan PTT di Surabaya sekarang ini antara Rp 300 ribu sampai Rp 650 ribu setiap bulannya.
Pertanyaannya adalah, bagaimana bisa optimal dalam memberikan pengajaran, jika kesejahteraan yang merupakan kebutuhan dasar mereka pun masih sukar untuk dicukupi. Tidak mengherankan jika Indeks Pembangunan Manusia (IPM) melorot. Dalam laporan United Nation Development Program (UNDP), pada tahun 2010 IPM Indonesia berada di peringkat 108, dan pada tahun ini melorot ke peringkat 124. Salah satu potret buram bagi pendidikan Indonesia.
Penghargaan yang layak bagi keberadaan GTT ini adalah hal yang mendesak. Mereka adalah bagian dari aktor pelaksana amanat konstitusi, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.   Selain itu, mereka juga mempunyai kesempatan yang sama dalam berkompetisi serta penghargaan yang sama pula terhadap kontribusi dan karyanya.
Dalam pasal 28D ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan, “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja”. Sudah saatnya, pemerintah harus memberikan penghargaan yang adil bagi guru, khususnya Guru Tanpa Status (GTT). Momentum Hari Guru Nasional, bukan lagi sebagai rutinitas tahunan tanpa perubahan konkret. Harus ada peningkatan kesejahteraan,  demi kemajuan pendidikan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar