Laman

Minggu, 18 November 2012

MAFIA PERIKAAN: Modus Operandi Praktek Illegal License


 http://www.dnaberita.com/foto_berita/72DSC00122.JPG

FORUM Pers Pemerhati Pelanggaran Perikanan Nasional (FP4N) akhirnya menemukan modus terbaru yang digunakan oleh perusahaan perikanan yang ada dibeberapa daerah seperti Kabupaten Kepulauan Aru, Kota Tual, Kota Ambon, Kabupaten Merauke dan Kabupaten Natuna untuk menguras kekayaan laut di Indonesia. Modus yang digunakan tersebut adalah modus “illegal license”, yang mana arti dari “illegal license” adalah penyalahgunaan izin dan atau cara mendapatkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan aturan main.
Ketua FP4N, Ivan Rishky Kaya kepada Indonesia Maritime Magazine menjelaskan, terungkapnya modus “illegal license” ini setelah data-data yang diminta secara resmi dari beberapa instansi dan perusahaan perikanan serta hasil investigasi di lapangan yang kemudian dikaji maka ditemukanlah praktek yang sudah merugikan negara  ratusan triliun rupiah ini.

“Kalau saat ini kita mendengar berbagai mafia seperti pajak, hukum, pemilu, maka dibidang perikanan diduga ada oknum-oknum tertentu di Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang bisa dikategorikan sebagai Sindikat dari Mafia Perikanan karena membekingi pelaku illegal license,” papar Ivan.
Ivan menjelaskan, yang dimaksud dengan illegal license adalah manipulasi izin atau penyalahgunaan izin. Kapal tangkap milik perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia, sebagian besar hanya mengantongi izin formal dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang didapat dengan cara mudah, namun setelah melakukan impor kapal asing, mereka (perusahaan perikanan yang beroperasi di Indonesia) tidak membangun atau mengembangkan industrinya yang mengakibatkan daerah-daerah sentra tangkapan (Laut Arafura, Laut Natuna, Laut Banda, Laut Maluku dan Laut Papua) tetap menjadi daerah miskin. Jika ada, izin tersebut didapati dengan cara-cara yang tidak sesuai mekanisme atau tidak sesuai aturan yang berlaku.

Selain itu, dengan adanya tindakan dari oknum-oknum di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang sengaja menjual belikan perizinan impor kapal asing kepada perusahaan yang tidak berbasis industri serta Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), tanpa melalui prosedur yang sebenarnya, menyebabkan industri perikanan di Indonesia akan mati dengan sendirinya.

Dari fakta dilapangan banyak terjadi penyimpangan terhadap Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2008 juncto Nomor 12 Tahun 2009 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Didalam Permen tersebut menjelaskan bagaimana proses penerbitan baru Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP-I), Surat Izin Usaha Perikanan Penanaman Modal (SIUP-PM), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Penangkap Ikan (SIKPI). Namun, ada beberapa proses yang tidak sesuai realita, tetapi dengan sengaja oknum aparat di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia membiarkan hal itu terjadi.

Sebagai contoh, mekanisme untuk mendapatkan Surat Izin Usaha Perikanan  (SIUP-I dan SIUP-PM) diawali dengan Perusahaan Perikanan mengajukan surat konfirmasi alokasi ke BKPM dan diteruskan ke Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap c.q Direktorat Pelayanan Usaha Penangkapan Ikan yang nantinya dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk mendapatkan izin tersebut diterima oleh Subdit Verifikasi Dokumen Penangkapan Ikan yang selanjutnya diteruskan ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan untuk dikoordinasikan yang selanjutnya membentuk Tim Pemeriksaan Aset dan  Verifikasi Usaha Perikanan Tangkap Terpadu yang nantinya akan mengeluarkan rekomendasi hasil verifikasi, dan diserahkan kembali ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan yang nantinya Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan mengeluarkan rekomendasi pemeriksaan aset dan verifikasi apakah layak atau tidak untuk diberikan izin.
Jika tidak layak, maka izin tidak diberikan, namun jika layak maka prosesnya akan berlanjut ke persetujuan dirjen untuk alokasi RAPIPM dengan cara mengeluarkan atau cetak RAPIPM, kemudian diteruskan lagi ke tahap pembuatan SPPM oleh BKPM yang nantinya diserahkan ke pihak pemohon izin untuk kemudian dibuat permohonan SIUP-PM.

Setelah permohonan SIUP-PM dibuat oleh perusahaan perikanan, maka akan diserahkan ke Subdit Verifikasi Dokumen Penangkapan Ikan untuk diperiksa dokumennya. Jika tidak lengkap maka akan dikembalikan ke pihak pemohon yakni perusahaan perikanan, jika lengkap maka dilanjutkan ketahap verifikasi dokumen SIUP-PM yang nantinya jika sesuai maka akan dibuat rekomendasi hasil verifikasi yang kemudian diteruskan ke Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan.

Setelah rekomendasi hasil verifikasi diterima selanjutnya Subdit Alokasi Usaha Penangkapan Ikan akan menginput data dan cetak draft SIUP-PM. Setelah draft SIUP-PM dicetak, tahap selanjutnya perhitungan dan penetapan PPP, input data PPP dan cetak SPP-PPP yang kemudian diserahkan lagi ke pihak pemohon yakni perusahaan perikanan untuk melakukan pembayaran PPP di bank dengan membawa Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP). Setelah pembayaran PPP, SSBP lembar ke 5 diserahkan ke Subdit Tata Pengusahaan Dokumen Penangkapan Ikan untuk pengesahan validasi SSBP lembar ke 5 tersebut. Selanjutnya SSBP lembar ke 5 tersebut digabungkan dengan dokumen SIUP-PM dan diserahkan ke Subdit Pelayanan Dokumen Penangkapan Ikan untuk cetak copy SIUP-PM, pemeriksaan final hingga cetak SIUP-PM.

Setelah SIUP-PM dicetak, diserahkan ke Direktur Jenderal untuk ditandatangani dan setelah ditandatangani diserahkan kembali ke pihak pemohon SIUP-I dan SIUP-PM yakni perusahaan perikanan.
“SIUP-I dan SIUP-PM adalah izin yang paling utama untuk seorang pengusaha bisa menjalankan bisnisnya dibidang perikanan, sebab izin-izin lainya (SIPI dan SIKPI) bisa didapat apabila sudah mengantongi SIUP-I dan SIUP-PM,” tutur Ivan.

Namun apa boleh dikata, kongkalikong dan izin operasi kapal ikan terus mengalir tanpa mengikuti prosedur yang tertuang dalam aturan main yang berlaku, yang mana dalam proses permohonan pengajuan alokasi hingga terbitnya SIUP-I, SIUP-PM terdapat praktek manipulasi.

Bukti dari penyalahgunaan prosedur terlihat pada saat permohonan pengajuan alokasi. Perusahaan perikanan yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan SIUP-I, SIUP-PM menggunakan proposal dengan kapasitas industri yang terpasang dan rencana pembangunan industri.

“Jika berbicara tentang sebuah industri, apalagi mengenai industri perikanan, maka proposalnya akan menerangkan tentang investasi dalam bentuk sebuah industri. Dari investasi sebuah industri tersebut, akan dijelaskan tentang beberapa hal yakni jumlah investasi, kapasitas produksi dan rencana kerja industri perikanan tersebut.

Sedangkan untuk jumlah investasi, sudah tentu realisasi investasinya terlihat nyata. Namun jika berbicara tentang kapasitas produksi, maka didalam proposal tersebut akan berbicara mengenai jumlah kapal dan jenis produksi yang dibagi menjadi dua bagian yakni hasil produksi yang akan diekspor dalam bentuk untuh atau tidak diolah dan diekspor dalam bentuk produk olahan. Kalau mengenai rencana kerja, akan menjelaskan tentang Cash Flow Projection, Output Produk, Pendapatan (dari ekspor dan penjualan dalam negeri) serta tenaga kerja,” papar Ivan yang adalah pria kelahiran Kota Ambon Provinsi Maluku.

Namun yang terjadi adalah sejak izin diberikan tidak terlihat fisik dari sebuah industri tersebut dibangun, jumlah tenaga kerja lokal tidak masuk akal (sangat sedikit), kapal-kapalnya misterius dalam artian kapal berlayar tidak tahu kapan masuk dan keluarnya kapal tersebut, kapal berlayar berbulan-bulan bahkan sampai sembilan bulan namun hasil tangkapan sebanding dengan kapal yang berlayar hanya satu bulan. Selain itu terindikasi menggunakan dan atau membeli BBM illegal ditengah laut dikarenakan kapal yang berlayar berbulan-bulan mengisi BBMnya sangat sedikit, bahkan hasil tangkapan ada yang tidak didaratkan.

Bukan hanya itu, menurut Ivan, pada saat  Tim Pemeriksaan aset memverifikasi data dan aset industri yang sebenarnya adalah tidak sesuai. Bahkan pada saat evaluasi tahunan, pembangunan industri diduga sengaja dilupakan karena tidak dipertanyakan. “Hal ini harus segera kita berantas agar masyarakat kecil di Indonesia tidak lagi hidup dibawah garis kemiskinan,” ketus Ivan dengan nada geram.

Sumber: http://indomaritimeinstitute.org/?p=1395

Tidak ada komentar:

Posting Komentar